Senin, 29 Oktober 2012

Over Kapasitas


OVER KAPASITAS


Sebuah Kapal Motor tenggelam di Perairan Pulau Raas Kangean. Jawa Timur, Pada tanggal 24 September 2011. Kapal Motor Putri Tunggal, diduga “Kelebihan Muatan”, sekitar 40 orang Penumpang, yang melebihi Kapasitas untuk ukuran Kapal 14 meter x 3 meter persegi.

Hal demikian bisa terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia yang saat ini telah banyak “Kelebihan Penumpang” alias Over Kapasitas. Kita ibaratkan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara adalah kapal yang berlayar dilaut dengan muatan penuh sesak, apa yang terjadi ? Banyak hal yang bisa terjadi, kekurangan bahan makanan, perlakuan yang tidak standar, dan yang fatal adalah Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara mengalami goncangan karena rusuh.

            Kita tidak menginginkan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan mengalami goncangan dalam mengarungi bahtera kehidupan Hukum dan Sosial, yang semakin dinamik dan sangat cepat berubah, apalagi di pengaruhi oleh “Cuaca” issu aktual dan global yang bertiup dikehidupan masyarakat kita dewasa ini.

            Over kapasitas terjadi karena laju pertumbuhan penghuni Lembaga Pemasyarakatan tidak seimbang dengan saran hunian yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan.

            Sebagai gambaran, jumlah keseluruhan Warga Binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara seluruh Indonesia, Agustus 2012 adalah 153.246 orang, terdiri dari Narapidana 102.971 orang dan Tahanan 50.275 orang. Sedangkan jumlah Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara berjumlah 442 unit. Dengan jumlah tersebut dibuat untuk menampung sekitar 90.000 orang Warga Binaan. Penambahan ruang hunian terus diupayakan Pemerintah, saat ini untuk mencukupi 2.000 orang, sedangkan pertumbuhan Narapidana dan Tahanan tiap tahun  sekitar 6 – 7 %. Pada 5 (Lima) tahun kedepan, diperkirakan jumlah Narapidana dan Tahanan akan bertambah 3 kali lipat. Over kapasitas cenderung memiliki implikasi negatif baik terhadap pembinaan,pengawasan dan keamanan.

Penyebab Over Kapasitas.

            Seingat Saya, pada Tahun 1995 jumlah Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Banjarmasin berkisar 400 – 550 orang, setelah peristiwa 23 Mei 1997 dan Krisis Ekonomi melanda Indonesia pada Tahun 1998. Pertambahan isi Lembaga Pemasyarakatan meningkat menjadi sekitar 750 – 800 orang. Sedangkan daya tampung Lembaga Pemasyarakatan Banjarmasin sekitar 400 orang.

            Faktor mendorong terjadinya Over Kapasitas adalah paradigma Hukum atau Faktor Hukum itu sendiri yang cenderung berorientasi pada pidana Institusional atau Pemenjaraan. Banyaknya Undang-Undang yang dibuat Pemerintah sebagai aspirasi dari dampak adanya perkembangan dimasyarakat seperti kejahatan Transnasional,Ilegal Logging, Illegal Mining, Ilegal Fishing, Trafficking, Korupsi, Terorisme, dan Narkoba, yang sanksinya lebih kearah pemidanaan atau pemenjaraan.

            Proses input dan output Narapidana didalam Lembaga Pemasyarakatan tidak seimbang. Jumlah hari tinggal di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara tidak berkurang dengan cepat, karena adanya tindak pidana seperti Narkoba dan Korupsi yang terkait Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006, pemberian remisi kepada mereka dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (sepertiga) masa pidana. Sementara itu, di Kota-kota besar kasus Narkoba bertambah semakin banyak sehingga menambah jumlah hunian secara signifikan. Adanya tindak pidana baru yang sering terjadi di masyarakat adalah kekerasan dalam Rumah Tangga yang turut menyumbang isi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Faktor perkembangan sosial ekonomi di masyarakat juga mempengaruhi tindak kriminalitas yang ada seperti kasus pencurian yang dilakukan oleh anak-anak dan masyarakat miskin yang sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya.


Berbagai Upaya Mengurangi Over Kapasitas.

            Kementerian Hukum dan HAM terus berupaya mengurangi Over Kapasitas diLembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan, ini menyangkut banyak hal, Over Kapasitas bisa berdampak negatif bagi proses Pembinaan Narapidana, serta membebani Negara dalam pembiayaan Makanan dan Perawatan Narapidana. Upaya yang pernah dilakukan yaitu Optimalisasi pemberian PB, CB, CMB dan hasilnya cukup baik, dapat menghemat biaya makan Narapidana dan mengurangi jumlah  hunian di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

            Pada Tahun 2008, jumlah Narapidana yang diberikan hak Pembebasan Bersyarat nya mencapai 14 ribu orang, dan ini langkah yang strategis, dengan mengedepankan Fungsi Balai Pemasyarakatan sebagai Pembimbing bagi Narapidana mendapatkan Pembebasan Bersyarat. Membangun Lembaga Pemsyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang baru juga merupakan salah satu langkah mengurangi kelebihan isi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Namun, program ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit ,waktu yang relatif cukup lama dan Koordinasi Intensif dengan Pemerintah Daerah untuk penyediaan lahan.
           
            Perlu dilakukan langkah-langkah strategis lainnya dalam mengatasi Over Kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang bersifat institusional seperti pidana bersyarat ( Voorwaardelijk Verondeling ) yang secara normatif di atur dalam KUHP pasal 14 a sampai dengan 14 f. Prof.Muladi, Mengatakan,” Bahwa ditinjau dari segi masyarakat secara finansiil maka pidana bersyarat yang merupakan pembinaan diluar Lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan”.
Bahwa Pemenjaraan atau Prisonisasi sangat berdampak buruk bagi penjahat ”Kebetulan” yaitu mereka yang secara yang tidak di sadari ikut serta dalam tindak pidana tersebut yaitu pelaku anak-anak.


            Dengan adanya PERMA Nomor 02 Tahun 2012, tentang batasan Tipiring ( Tindak Pidana Ringan ), dengan pemeriksaan cepat, sangat membantu Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara dalam mengurangi Over Kapasitas, dan perlu kesepakatan bersama Penegak Hukum dalam pelaksanaannya, sehingga dapat diupayakan pelaku tidak ditahan.

            Langkah strategis berikutnya kiranya perlu merevisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 tetang Narkoba agar lebih menitik beratkan pada aspek rehabilitatif bagi pengguna maupun pemakai yang ketergantungan. Sebagaimana Pemerintah telah merevisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan berlaku 2 Tahun lagi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tersebut merupakan salah satu wujud bentuk dari Restorative Justice sebagai, perwujudan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan Hukum dengan mengedapankan Diversi untuk tidak melakukan penahanan.

            Model Restorative Justice perlu dikembangkan dalam penyelesaian kasus pidana, hal ini sangat bermanfaat membantu mengurangi jumlah Narapidana dan Tahanan didalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, juga lebih untuk mendorong terciptanya reintegrasi sosial pelaku tindak pidana ke masyarakat secara cepat serta menghindari stigmatisasi. Sementara itu hal yang paling krusial dan menjadi perhatian kalangan Hukum di Indonesia adalah Revisi KUHP dan KUHAP yang memuat nilai dan norma yang berkembang dimasyarakat Indonesia saat ini serta tetap mengedapankan unsur Restorative Justice.

           

BAGUS KURNIAWAN
PNS,Pemerhati Pemasyarakatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar