OVER KAPASITAS
Sebuah
Kapal Motor tenggelam di Perairan Pulau Raas Kangean. Jawa Timur, Pada tanggal
24 September 2011. Kapal Motor Putri Tunggal, diduga “Kelebihan Muatan”,
sekitar 40 orang Penumpang, yang melebihi Kapasitas untuk ukuran Kapal 14 meter
x 3 meter persegi.
Hal
demikian bisa terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di
Indonesia yang saat ini telah banyak “Kelebihan Penumpang” alias Over
Kapasitas. Kita ibaratkan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara
adalah kapal yang berlayar dilaut dengan muatan penuh sesak, apa yang terjadi ?
Banyak hal yang bisa terjadi, kekurangan bahan makanan, perlakuan yang tidak
standar, dan yang fatal adalah Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara
mengalami goncangan karena rusuh.
Kita tidak menginginkan Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan mengalami goncangan dalam mengarungi bahtera
kehidupan Hukum dan Sosial, yang semakin dinamik dan sangat cepat berubah,
apalagi di pengaruhi oleh “Cuaca” issu aktual dan global yang bertiup
dikehidupan masyarakat kita dewasa ini.
Over kapasitas terjadi karena laju
pertumbuhan penghuni Lembaga Pemasyarakatan tidak seimbang dengan saran hunian
yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan.
Sebagai gambaran, jumlah keseluruhan
Warga Binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara
seluruh Indonesia, Agustus 2012 adalah 153.246 orang, terdiri dari Narapidana
102.971 orang dan Tahanan 50.275 orang. Sedangkan jumlah Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara berjumlah 442
unit. Dengan jumlah tersebut dibuat untuk menampung sekitar 90.000 orang Warga
Binaan. Penambahan ruang hunian terus diupayakan Pemerintah, saat ini untuk
mencukupi 2.000 orang, sedangkan pertumbuhan Narapidana dan Tahanan tiap
tahun sekitar 6 – 7 %. Pada 5 (Lima)
tahun kedepan, diperkirakan jumlah Narapidana dan Tahanan akan bertambah 3 kali
lipat. Over kapasitas cenderung memiliki implikasi negatif baik terhadap
pembinaan,pengawasan dan keamanan.
Penyebab Over Kapasitas.
Seingat Saya, pada Tahun 1995 jumlah
Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Banjarmasin berkisar 400 – 550 orang,
setelah peristiwa 23 Mei 1997 dan Krisis Ekonomi melanda Indonesia pada Tahun
1998. Pertambahan isi Lembaga Pemasyarakatan meningkat menjadi sekitar 750 –
800 orang. Sedangkan daya tampung Lembaga Pemasyarakatan Banjarmasin sekitar
400 orang.
Faktor mendorong terjadinya Over
Kapasitas adalah paradigma Hukum atau Faktor Hukum itu sendiri yang cenderung
berorientasi pada pidana Institusional atau Pemenjaraan. Banyaknya
Undang-Undang yang dibuat Pemerintah sebagai aspirasi dari dampak adanya
perkembangan dimasyarakat seperti kejahatan Transnasional,Ilegal Logging,
Illegal Mining, Ilegal Fishing, Trafficking, Korupsi, Terorisme, dan Narkoba, yang
sanksinya lebih kearah pemidanaan atau pemenjaraan.
Proses input dan output Narapidana
didalam Lembaga Pemasyarakatan tidak seimbang. Jumlah hari tinggal di dalam
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara tidak berkurang dengan cepat,
karena adanya tindak pidana seperti Narkoba dan Korupsi yang terkait Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006, pemberian remisi kepada
mereka dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (sepertiga) masa pidana. Sementara
itu, di Kota-kota besar kasus Narkoba bertambah semakin banyak sehingga
menambah jumlah hunian secara signifikan. Adanya tindak pidana baru yang sering
terjadi di masyarakat adalah kekerasan dalam Rumah Tangga yang turut menyumbang
isi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Faktor perkembangan sosial
ekonomi di masyarakat juga mempengaruhi tindak kriminalitas yang ada seperti
kasus pencurian yang dilakukan oleh anak-anak dan masyarakat miskin yang
sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berbagai Upaya Mengurangi Over
Kapasitas.
Kementerian Hukum dan HAM terus
berupaya mengurangi Over Kapasitas diLembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan,
ini menyangkut banyak hal, Over Kapasitas bisa berdampak negatif bagi proses
Pembinaan Narapidana, serta membebani Negara dalam pembiayaan Makanan dan
Perawatan Narapidana. Upaya yang pernah dilakukan yaitu Optimalisasi pemberian
PB, CB, CMB dan hasilnya cukup baik, dapat menghemat biaya makan Narapidana dan
mengurangi jumlah hunian di Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
Pada Tahun 2008, jumlah Narapidana
yang diberikan hak Pembebasan Bersyarat nya mencapai 14 ribu orang, dan ini
langkah yang strategis, dengan mengedepankan Fungsi Balai Pemasyarakatan
sebagai Pembimbing bagi Narapidana mendapatkan Pembebasan Bersyarat. Membangun
Lembaga Pemsyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang baru juga merupakan salah
satu langkah mengurangi kelebihan isi Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Negara. Namun, program ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit ,waktu yang
relatif cukup lama dan Koordinasi Intensif dengan Pemerintah Daerah untuk
penyediaan lahan.
Perlu dilakukan langkah-langkah
strategis lainnya dalam mengatasi Over Kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara yang bersifat institusional seperti pidana bersyarat ( Voorwaardelijk
Verondeling ) yang secara normatif di atur dalam KUHP pasal 14 a sampai
dengan 14 f. Prof.Muladi, Mengatakan,”
Bahwa ditinjau dari segi masyarakat secara finansiil maka pidana bersyarat yang
merupakan pembinaan diluar Lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan
pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan”.
Bahwa
Pemenjaraan atau Prisonisasi sangat berdampak buruk bagi penjahat ”Kebetulan”
yaitu mereka yang secara yang tidak di sadari ikut serta dalam tindak pidana
tersebut yaitu pelaku anak-anak.
Dengan adanya PERMA Nomor 02 Tahun
2012, tentang batasan Tipiring ( Tindak Pidana Ringan ), dengan pemeriksaan
cepat, sangat membantu Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara dalam
mengurangi Over Kapasitas, dan perlu kesepakatan bersama Penegak Hukum dalam
pelaksanaannya, sehingga dapat diupayakan pelaku tidak ditahan.
Langkah strategis berikutnya kiranya
perlu merevisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 tetang
Narkoba agar lebih menitik beratkan pada aspek rehabilitatif bagi pengguna
maupun pemakai yang ketergantungan. Sebagaimana Pemerintah telah merevisi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang akan berlaku 2 Tahun lagi. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tersebut merupakan salah satu wujud bentuk dari Restorative Justice sebagai, perwujudan
perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan Hukum dengan mengedapankan
Diversi untuk tidak melakukan penahanan.
Model Restorative Justice perlu
dikembangkan dalam penyelesaian kasus pidana, hal ini sangat bermanfaat
membantu mengurangi jumlah Narapidana dan Tahanan didalam Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, juga lebih untuk mendorong terciptanya
reintegrasi sosial pelaku tindak pidana ke masyarakat secara cepat serta
menghindari stigmatisasi. Sementara itu hal yang paling krusial dan menjadi
perhatian kalangan Hukum di Indonesia adalah Revisi KUHP dan KUHAP yang memuat
nilai dan norma yang berkembang dimasyarakat Indonesia saat ini serta tetap
mengedapankan unsur Restorative Justice.
BAGUS KURNIAWAN
PNS,Pemerhati
Pemasyarakatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar